Setiap mendengar nama Daan Mogot, secara spontan langsung tergambar dalam benak pikiran kita sebuah jalan raya panjang di bagian barat kota Jakarta. Jalan raya tersebut terbentang mulai dari Grogol Jakarta Barat hingga ke Kota Tangerang Provinsi Banten, dengan volume kendaraan yang terbilang padat setiap harinya membuat jalan raya ini tidak pernah sepi lalu lintasnya baik siang maupun malam hari. Terhias berbagai macam gedung di sisi kiri ataupun kanan jalan dengan aneka macam bentuk yang menarik, buah karya para arsitek hebat yang ada di negeri ini.
Namun ada pula sebagian dari kita ketika mendengar nama Daan Mogot yang tergambarkan yaitu pusat perbelanjaan mewah di Jakarta Barat, yang di dalamnya menyajikan banyak pilihan kebutuhan hidup seperti kuliner, pakaian bahkan kebutuhan rumah tangga lainnya. Layaknya pusat perbelanjaan pada umumnya di Jakarta, selalu ramai dikunjungi apalagi jika akhir pekan datang menyapa. Lalu siapakah sebenarnya Daan Mogot yang cukup termasyur itu ? Pada tulisan kali ini kami akan membawa para pembaca menyimak hasil perjalanan kitabaca.org agar lebih dekat dengan Daan Mogot.
Daan Mogot adalah nama seorang Pahlawan Perjuangan yang menghibahkan hidupnya untuk Ibu Pertiwi, memiliki nama asli Elias Daniel Mogot terlahir pada tanggal 28 Desember 1927 di Kota Manado. Daan Mogot kecil merupakan anak dari seorang Hakim Besar Ratahan, ia merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Keluarga besar Daan Mogot terbilang populer pada eranya, ia merupakan saudara sepupu Kolonel Alex Kaliwarang, bahkan sepupu yang lainnya yaitu Irjen Polisi Alexius Gordon Mogot yang sempat menjabat Kapolda Sulut dan Kadiv Propam Mabes Polri.
Ketika Daan Mogot berusia 11 tahun, tepatnya tahun 1939 sang ayah Nicolaas Mogot membawa keluarganya dari Manado untuk pindah ke Jakarta. Menempati sebuah rumah di jalan Van Heutsz Plein yang saat ini lebih dikenal Jalan Cut Mutia di Jakarta Pusat, Daan Mogot pun beberapa tahun menghabiskan masa remajanya di Jakarta. Karir ayahnya mengalami kenaikan dengan diangkat menjadi anggota Volksraad, anggota dewan rakyat ketika masa Pemerintahan Hindia Belanda, bahkan sang ayah diangkat menjadi kepala penjara Cipinang, yang letaknya di timur Jakarta.
Daan Mogot memulai karir militer ketika Pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia pada tahun 1942, sepak terjangnya sangat menonjol pada saat bergabung dengan Pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Bali. Jepang membentuk PETA sebagai siasat mendapatkan dukungan tenaga militer cadangan ketika Perang Pasifik bergejolak, Usianya masih terbilang muda baru 15 tahun, namun prestasi militernya yang cemerlang akhirnya membuat Daan Mogot di daulat sebagai pelatih, bahkan dirinya mendapatkan posisi sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Agustus 1945.
Jepang Menyerah Kepada Sekutu, Pemerintah Mendirikan Badan Kamanan Rakyat
Kabar kekalahan Jepang pada perang pasifik terdengar kencang di kalangan pejuang kemerdekaan pada pekan kedua Agustus 1945, orang Indonesia pertama yang mengetahui kabar tersebut lewat radio yang disembunyikannya adalah Sutan Sjahrir. Tokoh yang mendapatkan julukan Bung Kecil itu segera menemui Soekarno dan Hatta, ia mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan karena Jepang sudah kalah dan menyerah. Jepang menyerah kepada sekutu setelah dua kota besarnya Hiroshima serta Nagasaki hancur lebur terkena serangan Bom Atom yang diberi nama Little Boy dan Fat Man.
Setelah Jepang menyerah terhadap sekutu, pasukan PETA dibubarkan oleh Jepang. Daan Mogot bersama dengan beberapa perwira PETA merasa terpanggil untuk ambil bagian menghadapai peristiwa besar yang akan terjadi, tetap menjalin komunikasi hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan. Pemerintah Indonesia setelah Soekarno dan Hatta resmi dilantik, akhirnya mendirikan Badan Keamanan Rakyat atau BKR. Sebuah badan yang bertugas melakukan pemeliharaan keamanan bersama rakyat, dengan anggota para pemuda yang pernah mendapatkan pelatihan kemiliteran.
Daan Mogot akhirnya bergabung dengan BKR, bersama beberapa mantan perwira PETA yakni Singgih, Daan Jahja, Kemal Idris, Islam Salim, Oetardjo, Jopie, Sadikin serta Darsono. Mereka semua ambil bagian dalam kekuatan awal Militer di Indonesia, bahkan yang menarik adalah Daan Mogot langsung diberikan pangkat Mayor yang bertugas dibawah komando Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min, yang isi perwiranya hampir semua mantan perwira PETA, bermarkas di Jalan Cilacap No. 5 Jakarta yang menaungi keamanan kota Jakarta dan sekitarnya pada saat itu.
Akademi Militer Pertama dan Peristiwa Pertempuran Lengkong
Daan Mogot yang resmi menjadi Mayor setelah bergabung dengan BKR memiliki inisiatif untuk mendirikan sebuah akademi militer, ide tersebut disampaikan kepada teman-temannya sesama perwira militer dan para mantan pelatih PETA. Gagasan cemerlang Daan Mogot tersebut akhirnya melahirkan Akademi Militer Tangerang sebagai wadah para calon tentara hebat yang menjaga Kemerdekaan Indonesia, Daan Mogot menjadi komandan pasukan Resimen IV TRI di Tangerang didampingi Letnan RM Soebianto Djojohadikoesoemo yang merupakan Paman Menhan RI Prabowo Soebianto.
Pada tanggal 25 Januari 1946 di Tangerang, Mayor Daan Mogot memimpin pasukan yang terdiri dari tiga perwira dan puluhan taruna mendatangi markas jepang di Desa Lengkong Serpong. Tujuannya untuk melucuti senjata pasukan Jepang agar tidak melakukan kegiatan yang mengganggu masa awal kemerdekaan, rombongan tersebut mengendarai tiga unit truk dan satu unit mobil jip militer. Daan Mogot yang di dampingi oleh tiga orang perwira merasa ini adalah misi militer yang sangat penting, terlebih di awal kemerdekaan Indonesia sangat membutuhkan senjata demi menjaga Ibu Pertiwi.
Setibanya rombongan Daan Mogot di gerbang markas Jepang, mereka langsung dihadang oleh pasukan yang berjaga karena tidak diijinkan melintas. Ketegangan mulai terjadi namun Daan Mogot menggunakan strategi diplomasi agar rombongan bisa melaksanakan misi, setelah melakukan negosiasi yang cukup alot akhirnya tiga orang rombongan diijinkan masuk untuk melakukan pembicaraan dengan pimpinan militer Dai-Nippon yang ada di markas. Mayor Daan Mogot bersama Mayor Wibowo serta satu orang taruna militer yang akhirmya menjadi negosiator.
Letnan Soebianto dengan Letnan Soetopo diberikan tugas untuk memimpin pasukan yang bersiap di depan markas, dengan kewibawaannya rombongan negosiasi memasuki markas Dai-Nippon untuk melanjutkan misi militer. Daan Mogot berhasil melakukan negosiasi dengan pimpinan markas militer Jepang tersebut, semula proses pelucutan senjata berjalan dengan sangat lancar karena Jepang sudah bersedia menyerahkan senjata miliknya, tetapi dari tempat yang tersembunyi tiba-tiba terdengar rentetan letusan senapan dan mitraliur yang diarahkan ke rombongan Daan Mogot.
Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan, pasukan yang berjaga di luar akhirnya menyerbu masuk ke dalam markas Jepang tersebut. Baku tembak dan sesekali diselingi ledakan terjadi di Desa Lengkong, pasukan Jepang pun mengerahkan semua kekuatan militernya untuk membalas serbuan. Karena rombongan Daan Mogot kalah jumlah pasukan serta persenjataan, akhirnya korban berguguran dari sebagian besar rombongan pasukan Akademi Militer Tangerang, Mayor Daan Mogotpun gugur menemui titik akhir pengabdiannya.
Para kusuma negara yang gugur itupun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Taruna Kota Tangerang, sebagai titik akhir pengabdian untuk tanah airnya yang baru merdeka. Namun nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan akan terus hidup, tidak akan hilang ditelan oleh waktu. Daan Mogot yang masih sangat muda memberikan contoh bahwa pemuda adalah tiang negara, maju dan besarnya sebuah negara ditentukan oleh para pemudanya hari ini. Mari bersama ambil bagian untuk meneruskan perjuangan para pendahulu bangsa, agar Indonesia tetap berdiri tegak serta bisa berjaya.
Salam Literasi,
Hadi Hadede (PhD) TIM kitabaca.org
dari gang kecil untuk Indonesia Raya.
Rifansyah
Juli 23, 2022 at 7:56 pm
Trimakasih atas informasi sejarahnya bang
Hadi Hadede
Juli 28, 2022 at 12:29 pm
Terimakasih kembali sudah meluangkan waktunya untuk membaca artikel kami